Kamis, 23 Oktober 2014

Beda Usia 60 Tahun, Kisah Cinta Ini Dikenang Sejarah


Bismillahirrahmanirrahim

Lelaki itu duduk bersama gadis yang baru dinikahinya. Ketika dibuka tutup kepalanya, terlihatlah banyak uban yang berlomba menampakkan dirinya. Sang istri, menyeksamai kejadian itu, sepenuh syahdu.

Suami yang beruban banyak itu berkata, “Apakah kamu kaget menyaksikan jumlah ubanku?” Yang ditanya, istri barunya itu, tersipu malu, hanya senyum simpul yang ditampakkannya. Lanjut suaminya, “Tapi yakinlah, hanya ada kebaikan dalam uban-ubanku ini.”

Selanjutnya, keduanya memadu kasih dalam balutan ketaatan dan ketaqwaan kepada Tuhan yang mereka cintai, sepenuh syahdu, selaksa rindu dan setumpuk sayang karena iman.

Lantas, dalam sebuah kesempatan berdua, sang lelaki layaknya tak puas dengan jawaban istrinya tempo hari. Bukan, bukan karena ia meragukan cinta istrinya. Ia hanya khawatir jika cintanya kepada istrinya itu telah merenggut masa remaja yang baru dilaluinya itu.

Pasalnya, sang suami umurnya sudah kepala delapan. Sedang sang istri yang cantik, jelita nan rupawan berbalut shalihah dan cerdas itu, baru berkepala dua. Bahkan, dari jalur riwayat lain, usia istrinya itu baru memasuki angka delapan belas tahun. Ada jeda 60 tahun antara cinta kedua pasangan melegenda ini.

Sang suami, bertanya malu-malu, “Apakah kamu merasa merugi menjadi istriku, Sayang?” Begitu kurang lebih tafsir dari tanyanya. Sang istri, tak kalah syahdunya menukasi, “Memangnya apa alasan yang harus membuatku merasa demikian, Kasih?” Aduhai, romantisnya.

Suami yang telah terjamin surga baginya itu, menjawab, agak pelan. Katanya, “Apakah kau tidak merasa merugi karena menikah dengan lelaki setuaku ini?” Yang dimaksud sang suami, adalah kesadaran terdalam. Bahwa istrinya juga punya hak untuk mendapat lelaki yang usianya sebaya dengan tingkat keshalihan juga, tentunya.

Lalu, apa jawaban sang istri? Mari seksamai tafsir dari jawabannya, “Aku lebih suka menghabiskan hidup bersama orang yang telah menghabiskan waktu mudanya bersama Rasulullah yang mulia.”

Rupa-rupanya, yang meluncur justru pujian dari sang istri. Apalah artinya usia muda jika habis untuk maksiat dan kesia-siaan? Maka tua adalah lebih penting dan membanggakan jika dimanfaatkan, ketika mudanya, untuk taat. Apalagi, ketaatan terbaik bersama Rasulullah yang terkasih.

Maka cinta mereka bertumbuhkembang dalam kebaikan tanpa batas. Hingga sang istri menjadi tameng ketika suaminya dibunuh rame-rame oleh pemberontak. Bahkan, dua diantara sepuluh jari tangannya menjadi saksi karena ikut terluka dan terpotong oleh para pemberontak.

Kemudian, ketika ia telah menjanda, ditanyakanlah kepadanya, “Apakah kau berkehendak menikah lagi?” Mungkin, karena usianya masih muda. Berpikir, ia masih membutuhkan pemenuhan kebutuhan biologis yang memang tak bisa diwakilkan dan harus terpenuhi dengan baik.

Tetapi, sebab cintanya kepada suami pertamanya yang syahid oleh pemberontak itu, istri yang masih muda menawan rupawan nan shalihah itu menjawab, “Aku tidak ingin ada orang lain yang lebih mengetahui fisik dan psikisku, selain ‘Utsman bin ‘Affan.”

Ialah kisah abadi yang tak lekang oleh batas waktu dan tempat. Wanita beruntung yang menjadi istri terakhir Sayyidina ‘Utsman bin ‘Affan adalah Nailah. Maknanya, wanita yang beruntung. Dia beruntung sebab mampu memaknai cinta sejati. Kepada suami yang menghabiskan hidupnya bersama Rasulullah SAW, cinta kepada Rasulullah Saw yang telah membawa Islam kepadanya dan kepada Allah SWT yang telah menunjukinya kepada hidayah. Sebab sebelumnya, ayah dari wanita itu beragama Nasrani.[pirman]

Subhanallah walhamdulillah wala ilaha illallah wallahu akbar Walahaulawala Quwwata illabilla hil ‘aliyil ‘azhim. Allahumma sholli ‘ala Muhammad, wa ‘ala ali Muhammad. Astaghfirullahal ‘azhim wa atubu ilaih.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar