Kamis, 27 Februari 2014

Membangun Tangga-Tangga Menuju Surga

Wahai jiwa yang tenang! Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang rida dan diridaiNya Maka masuklah ke dalam golongan hamba-hambaKu dan masuklah ke dalam surgaKu (al Fajr 27-30)

Kudengar ayat itu dari murobbiyah pertamaku di waktu SMP. Seorang mahasiswi tingkat pertama yang rajin sekali berbagi di hadapanku pada hari Jum’at. Pembawaannya yang ceria dan suka bercerita membuatku jatuh cinta padanya. Kefasihannya dalam membaca Al Qur’an adalah sumber kerinduan untuk berjumpa dengannya.

Dialah yang mengajakku untuk menunaikan dua ibadah sunnah yang utama, Dhuha dan Tahajjud. Dialah yang mengingatkanku tentang pentingnya berbakti kepada kedua orang tua. Dialah yang tak malu-malu menasihatiku untuk tidak berpacaran. Dialah yang menuntunku untuk menjauhi hal-hal yang meragukan.

Seluruh ajakan, pengingatan, nasihat, dan tuntunan yang telah dia berikan membuatku mengerti tugasku yang sebenarnya di dunia ini. Tugas yang telah melekat sejak dulu hingga kelak aku menghadapNya: menjadi hamba Allah yang berjiwa tenang. Sungguh, tangga-tangga menuju surga itu telah kubangun melalui lisan dan perilakunya!

Ternyata, pembangunan tangga-tangga menuju surga tak berhenti. Terus berlanjut hingga aku berada di SMA. Murobbiyahku berganti. Dia amat berbeda dengan murobbiyahku yang dulu. Lebih tegas, namun tetap lembut. Lagi-lagi, kefasihannya dalam membaca Alquran membuatku kagum. Kehadirannya dalam pertemuan pekanan nyaris tak pernah tergantikan. Padahal, dia juga seorang aktivis dakwah kampus yang padat dengan berbagai kesibukan dan agenda.

Pada sebuah kesempatan, dia mengulas ayat ini:
Katakanlah: “Jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, isteri-isteri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan rumah-rumah tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai daripada Allah dan Rasul-Nya dan (dari) berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya.” Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang fasik.
(at Taubah 24)

Seketika kutersentak. Baru kutahu, ternyata cinta kepada Allah, Rasul, dan Jihad harus didahulukan daripada cinta-cinta yang lain. Alhamdulillah, aku menyadari itu lewat perantaraannya.

Melalui lisannya, dia menyemangatiku untuk mulai berdakwah di jalanNya. Melalui teladannya, dia mengajakku untuk menjadi da’iyah yang profesional dan berwawasan luas. Melalui semangatnya, dia menyeruku untuk teguh menapaki jalan dakwah ini.

Lisannya, teladannya, semangatnya adalah bahan untuk membangun pondasi kecintaanku terhadap jalan dakwah. Hingga saat ini, aku masih mencintai jalan ini dan berusaha untuk teguh menapakinya meski tertatih. Sungguh, tangga-tangga menuju surga itu semakin meninggi lantaran seruanmu kepadaku untuk meninggikan kalimat Ilahi! []

Penulis : Ayu Novita Pramesti
Depok

Tiga Bulan Tidak Mampu Memandang Wajah Suami

Pernikahan itu telah berjalan empat (4) tahun, namun pasangan suami istri itu belum dikaruniai seorang anak. Dan mulailah kanan kiri berbisik-bisik: “kok belum punya anak juga ya, masalahnya di siapa ya? Suaminya atau istrinya ya?”. Dari berbisik-bisik, akhirnya menjadi berisik.

Tanpa sepengetahuan siapa pun, suami istri itu pergi ke salah seorang dokter untuk konsultasi, dan melakukan pemeriksaaan. Hasil lab mengatakan bahwa sang istri adalah seorang wanita yang mandul, sementara sang suami tidak ada masalah apa pun dan tidak ada harapan bagi sang istri untuk sembuh dalam arti tidak peluang baginya untuk hamil dan mempunyai anak.

Senin, 17 Februari 2014

Tenggelam Dosa di Dunia, Banjir Keringat di Akhirat



Mungkin anda pernah berada dalam situasi yang sangat gerah, matahari memancarkan sinarnya yang panas, sementara anda berada di tengah desak-desakkan dengan banyaknya manusia di sekitar kita. Peluh keringat mengucur deras, tenaga serasa terkuras dan tenggorokan serasa kering dan susah untuk bernapas. Tetapi, separah apapun yang pernah kita alami dan kita dengar itu semua tidak sebanding dengan apa yang kelak dialami oleh banyak manusia tatkala pada hari kiamat, hari dimana manusia berdiri di hadapan Allah swt.

Jumat, 14 Februari 2014

Persiapkan Diri Lahir Kembali



Dari tanah manusia pertama tercipta. Dari sperma yang menjijikkan proses anak adam bermula. Kemudian lahir dalam keadaan lemah tak berdaya, tidak pula mengerti apa-apa. Namun saat menginjak dewasa, tiba-tiba sebagian besar mereka menjadi penentang pencipta-Nya. Tidak mau tunduk aturan yang digariskan oleh-Nya, namun merasa mampu mencari jalan yang membahagiakan dirinya tanpa bimbingan-Nya. Mengira bahwa mereka dibiarkan hidup begitu saja. Tanpa diawasi pencipta-Nya dan tidak pula dimintai tanggung jawab atas segala tindakan yang pernah dilakukannya.
Lahir kembali itu pasti. Bahkan diantara manusia yang ingkar berkata, “mana mungkin manusia yang telah mati dan telah menjadi tulang belulang akan dibangkitkan kembali?” . inilah kesombongan yang terbungkus oleh kebodohan yang nyata. Allah telah menunjukkan kebodohan mereka, dan menyebut mereka melupakan kejadian awalnya. Allah berfirman, “Dan dia membuat perumpamaan bagi Kami, dan dia lupa kepada kejadiannya. Ia berkata, siapakah yang dapat menghidupkan tulang-belulang yang telah hancur luluh?.. katakanlah, ia akan dihidupkan oleh Rabb yang menciptakannya kali pertama.” (QS. Yasin: 78-79)

Minggu, 09 Februari 2014

Memburu Shaf Awal



Seperti biasa, di masjid kampong saya setelah imam datang muadzin segera mengumandangkan iqamat. Jamaah pun bangkit dari duduknya masing-masing dan bersegera memenuhi shaf depan. Namun di shaf paling ujung  sebelah kanan masih ada tempat kososng, satu orang jamaah mestinya bisa masuk untuk memenuhi shaf depan. Sampai selesai iqamah di kumandangkan dan imam memerintahakn untuk memenuhi dulu shaf yang depan, tetap saja tidak ada yang maju mengisinya padahal ada beberapa jamaah di shaf kedua tepat dibelakang saya. Akhirnya dengan suara keras dan sedikit marah pak imam yang sudah berumur 80 tahunan menyuruh salah seorang mereka untuk maju ke depan. Tetapi justru mereka saling pandang, saling mempersilahkan untuk maju mengisi shaf pertama. Hingga akhirnya salah satu dari mereka pun maju, entah dalam keadaan terpaksa atau tidak. masyaAllah, mengapa mereka melakukan hal ini? Tidakkah mereka mengetahui keutamaan shaf terdepan dalam shalat berjamaah? Apakah ini salah satu tanda bahwa masih belum pahamnya umat terhadap ilmu agama khususnya fiqih shalat?

Aurat Semakin Terbuka, Semakin Dimurka



Nikmat yang Allah berikan saat Adam dan hawa masih di Jannah sangatlah berlimpah. Semua makanan dihalalkan dan hanya satu yang Allah haramkan. Yaitu suatu pohon tertentu yang ada di Jannah. Orang sering mengatakan pohon tersebut adalah pohon khuldi. Padahal itu hanyalah sebutan setan untuk pohon tersebut guna menggoda Adam.

Jangan Kau Persembahkan untuk Allah Hanya Sekedar Sisa



“Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang kami keluarkan dari bumi untuk kamu. Dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu nafkahkan darinya, padahal kamu sendiri tidak mau mengaambilnya melainkan dengan memincingkan mata terhadapnya. Dan ketahuilah bahwa Allah Maha kaya lagi Maha terpuji.” (QS. Al-Baqarah: 267)

Selasa, 04 Februari 2014

Ketika Keistiqomahan Diuji



Ada sebuah cerita dari salah satu hamba Allah, sebut saja dia lala..
 
Saat itu aku sedang mengalami masa remaja yang orang bilang masa puber.seperti anak remaja pada umumnya, aku belum mengenak mana yang baik dan mana yang buruk. Selama tidak merugikan diriku semuanya aku anggap baik. Sampai akhirnya kau terperosok dalam lubang kemaksiatan.

Di bangku kelas 2 SMP semuanya bermula. Tak ada yang menyangka bahwa aku akan menjadi sepperti itu. Saat pertama kali menapakkan kaki di sekolah itu aku merasa ragu. Penampilan para siswa di sana hamper tidak layak disebut anak sekolahan. Tidak hanya anak putra, tapi juga anak putrid. Meskipun berkerudung-mungkin karena tuntutan peraturan sekolah, kelakuan mereka tidak beda dengan para remaja pada umumnya yang tidak menutup auratnya. Dari awal aku sudah tidak yakin akan bisa menjaga diriku sendiri. Aku takut terbawa arus kenakalan mereka.

Allah Tahu yang Kita Butuhkan, Kenapa Harus Berdoa??



“Mengapa kita perlu berdoa? Bukankah Allah Maha tahu semua yang kita inginkan? Jadi kenapa harus meminta? Apakah itu berarti mendikte Allah untuk melakukan apa yang kita inginkan?” yang lain lagi berkata, “kenapa perlu berdoa? Toh apa yang Allah lakukan adalah apa yang Dia kehendaki, bukan apa yang kita kehendaki.”
 
Itulah diantara pikiran menyeleweh yang berseliweran dalam wacana dan perbincangan. Bahkan sudah ada yang menjadikannya sebagai pegangan. Meskipun aneh, tapi jalan logika semacam itu bisa berpotensi menggembosi semangat untuk berdoa.